Tampilkan postingan dengan label ILMIAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ILMIAH. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 April 2013

ILMU POLITIK


PENDAHULUAN

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.


PEMBAHASAN
IDEOLOGI TENGAH DAN KANAN

A.      PENGERTIAN
Implikasi Demokratis dari “sosialisme demokratis” sangata jelasdalam istilahnya sendiri. Ada idiologi politik yang menganut asas-asas kedaulatan rakyat dan persamaan politik. Dan juga anarkisme adalah diantara idiologi kiri yang mendesak adanya pembagian kekuasaan politik yang sama bagi seluruh warga Negara. Politik tidak dibagi rata , maka mereka yang melaksanakan kekuasaan politik tik berhak menyatakan bahwa wewenang politiknya adalah sah.
  Mengidentifikasi demokrasi dengan kapitalisme adalah salah, karena:
1.      “Kapitalime” merupakan suatu system organisasi ekonomi, sedang “Demokrasi” mengacu pada system suatu politik.
2.      Sebenarnya belum pernh ada system organisasi ekonomi yang benar-benar kapitalis.
Dari sudut pandang lain, mencirikan demokrasi dan kapitalisme bias saja banyak benarnya dari pada salahnya, karena:
1.      Demokrasi-demokrasi  yang telah mantap dan telah lama hidup di dunia barat berakar kuat pada idiologi liberalism klasik.
2.      Liberalisme klasik juga adalah idiologi politik kapitalisme awal.
Kenyataan-kenyataan politis dan liberalime klasik lebih bayak menampilkan wujud-wujud orientasi dari pada demokrasi.  Persoalan pokokmengenai pentingnya liberalisme klasik ini mungkin akan bias dijelaskan kalau kita berpaling lebih dahulu pada asumsi-asumsi yang menambatkan logika suatu idiologi politik.

B.       LIBERALISME
Liberalism merupakan idiologi kelas tertentu yang mecirikan kepentingan ketentuan. Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua pengertian mengenai ideologi, yaitu ideologi secara fungsional dan secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama; atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik, sedangkan ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa. Menurut pendekatan struktural konflik, kelas yang memiliki sarana produksi materiil dengan sendirinya memiliki sarana produksi mental, seperti gagasan, budaya dan hukum. Gagasan kelas yang berkuasa di manapun dan kapanpun merupakan gagasan yang dominan. Gagasan, budaya, hukum dan sebagainya sadar atau tidak merupakan pembenaran atas kepentingan materiil pihak yang memiliki gagasan yang dominan. Sistem pembenaran ini disebut ideologi.
Dalam bahasa Indonesia, ideologi sering disebut sebagai “dasar negara” atau “falsafah negara”, di Malaysia disebut “rukun negara”. Karena memberikan pengesahan kepada pemerintah, ideologi membenarkan adanya status quo. Tetapi ideologi juga bisa digunakan oleh pihak lainnya (pihak pemberontak, pihak oposisi atau pihak reformasi) guna menyalahkan pemerintahan, menyerang kebijakan pemerintah sampai kepada mengubah status quo. Sekalipun pemerintah bisa menindas warga negaranya dengan menggunakan dalih ”hak ketuhanan raja” atau ”kehendak sejarah”, tetapi pihak lainnya bisa membenarkan tindakan kekerasan mereka dengan bersandar pada prinsip ”hak-hak dasar” atau ”kehendak yang kuasa”. Ideologi yang dianggap sarat dengan kepentingan kelas pekerja bukan tidak bisa digunakan untuk menentang kekuasaan negara borjuis, selain juga untuk mensahkan kekuasaan diktator terhadap kelas pekerja. Ideologi dalam arti fungsional dapat digambarkan secara singkat dengan contoh berikut. Di Amerika Serikat, menjamin keamanan nasional berarti peningkatan produksi persenjataan yang bermakna pula menguntungkan industri-industri senjata. Peningkatan pertumbuhan pertanian berarti peningkatan produksi pupuk dan bahan kimia yang lain, yang berarti menguntungkan industri-industri pupuk dan bahan kimia. Demi stabilitas nasional di negara-negara berkembang acap kali berarti mengurangi kebebasan politik warga negara. Ideologi dalam arti fungsional digolongkan secara tipologi dengan dua tipe, yakni ideologi yang doktriner dan ideologi yang pragmatis.
Liberalisme sebagai suatu ideologi pragmatis muncul pada abad pertengahan di kalangan masyarakat Eropa. Masyarakat Eropa pada saat itu secara garis besar terbagi atas dua, yakni kaum aristokrat dan para petani. Kaum aristokrat diperkenankan untuk memiliki tanah, golongan feodal ini pula yang menguasai proses politik dan ekonomi, sedangkan para petani berkedudukan sebagai penggarap tanah yang dimiliki oleh patronnya, yang harus membayar pajak dan menyumbangkan tenaga bagi sang patron. Bahkan di beberapa tempat di Eropa, para petani tidak diperkenankan pindah ke tempat lain yang dikehendaki tanpa persetujuan sang patron (bangsawan). Akibatnya, mereka tidak lebih sebagai milik pribadi sang patron. Sebaliknya, kesejahteraan para penggarap itu seharusnya ditanggung oleh sang patron. Industri dikelola dalam bentuk gilde-gilde yang mengatur secara ketat, bagaimana suatu barang diproduksi, berapa jumlah dan distribusinya. Kegiatan itu dimonopoli oleh kaum aristokrat. Maksudnya, pemilikan tanah oleh kaum bangsawan, hak-hak istimewa gereja, peranan politik raja dan kaum bangsawan, dan kekuasaan gilde-gilde dalam ekonomi merupakan bentuk-bentuk dominasi yang melembaga atas individu. Dalam konteks perkembangan masyarakat itu muncul industri dan perdagangan dalam skala besar, setelah ditemukan beberapa teknologi baru. Untuk mengelola industri dan perdagangan dalam skala besar-besaran ini jelas diperlukan buruh yang bebas dan dalam jumlah yang banyak, ruang gerak yang leluasa, mobilitas yang tinggi dan kebebasan berkreasi. Kebutuhan-kebutuhan baru itu terbentur pada aturan-aturan yang diberlakukan secara melembaga oleh golongan feodal. Yang membantu golongan ekonomi baru terlepas dari kesukaran itu ialah munculnya paham liberal.
Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan diciptakan oleh golongan intelektual yang digerakkan oleh keresahan ilmiah dan artistik umum pada zaman itu. Keresahan intelektual tersebut disambut oleh golongan pedagang dan industri, bahkan hal itu digunakan untuk membenarkan tuntutan politik yang membatasi kekuasaan bangsawan, gereja dan gilde-gilde. Mereka tidak bertujuan semata-mata untuk dapat menjalankan kegiatan ekonomi secara bebas, tetapi juga mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat yang terbaik (rezim terbaik), menurut paham liberal adalah yang memungkinkan individu mengembangkan kemampuan-kemampuan individu sepenuhnya. Dalam masyarakat yang baik, semua individu harus dapat mengembangkan pikiran dan bakat-bakatnya. Hal ini mengharuskan para individu untuk bertanggung jawab pada segala tindakannya baik itu merupakan sesuatu untuknya atau seseorang. Seseorang yang bertindak atas tanggung jawab sendiri dapat mengembangkan kemampuan bertindak. Menurut asumsi liberalisme inilah, John Stuart Mill mengajukan argumen yang lebih mendukung pemerintahan berdasarkan demokrasi liberal. Dia mengemukakan tujuan utama politik ialah mendorong setiap anggota masyarakat untuk bertanggung jawab dan menjadi dewasa. Hal ini hanya dapat terjadi manakalah mereka ikut serta dalam pembuatan keputusan yang menyangkut hidup mereka. Oleh karena itu, walaupun seorang raja yang bijaksana dan baik hati, mungkin dapat membuat putusan yang lebih baik atas nama rakyat dari pada rakyat itu sendiri, bagaimana pun juga demokrasi jauh lebih baik karena dalam demokrasi rakyat membuat sendiri keputusan bagi diri mereka, terlepas dari baik buruknya keputusan tersebut. Jadi, ciri-ciri ideologi liberal sebagai berikut :
1.       Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik.
  1. Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama dan kebebasan pers.
  2. Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri sendiri.
  3. Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Pendek kata, kekuasaan dicurigai sebagai hal yang cenderung disalahgunakan, dan karena itu, sejauh mungkin dibatasi.
  4. Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian besar individu berbahagia. Walau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagian sebagian besar individu belum tentu maksimal. Dengan demikian, kebaikan suatu masyarakat atau rezim diukur dari seberapa tinggi indivivu berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan dan bakat-bakatnya. Ideologi liberalisme ini dianut di Inggris dan koloni-koloninya termasuk Amerika Serikat.
C.      KONSERVATISME
Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Latin, conservāre, melestarikan; "menjaga, memelihara, mengamalkan". Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula. Sebagian pihak konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang lampau, the status quo ante.
Samuel Francis mendefinisikan konservatisme yang otentik sebagai “bertahannya dan penguatan orang-orang tertentu dan ungkapan-ungkapan kebudayaannya yang dilembagakan.”[1] Roger Scruton menyebutnya sebagai “pelestarian ekologi sosial” dan politik penundaan, yang tujuannya adalah mempertahankan, selama mungkin, keberadaan sebagai kehidupan dan kesehatan dari suatu organisme sosial.
Ciri-Ciri Ajaran Ideologi Konservatisme:
1.    Lebih mementingkan lembaga-lembaga kerajaan dan gereja.
2.    Agama dipandang sebagai kekuatan utama disamping upaya pelestarian tradisi dan kebiasaan dalam tata kehidupan masyarakat.
3.    Lembaga-lembaga yang sudah mapan seperti keluarga, gereja, dan Negara semuanya dianggap suci.
4.    Konservatisme juga menentang radikalisme dan skeptisisme.
Siapa yang menciptakan?
Ideologi konservatisme yang dikumandangkan oleh Edmund Burke, 1729-1797. Dimana ideologi konservatisme ini telah merasuk ke beberapa negara sekular yang
ada sekarang. Nasionalisme dan kebangsaan ini sekarang kalau di
Indonesia dijadikan lambang perjuangan Partai Amanat Nasional di bawah
Amien Rais dan Partai Kebangkitan Bangsa yang lahirnya dibidangi oleh Gus
Dur.
Negara yang menganut Ideologi Konservatisme Negara yang pernah menganut Ideologi Konservatisme adalah Inggris, Kanada, Bulgaria, Denmark, Hongaria, Belanda, Swedia

D.      FASISME
Secara umum, fasisme adalah suatu paham yang mengedepankan bangsa sendiri dan memandang rendah bangsa lain. Hal ini sama saja mengisyaratkan bahwa fasisme adalah suatu sikap nasionalime yang berlebihan. Penerapan ideologi fasisme secara absolut tanpa mengutamakan prinsip demokrasi. Contohnya saja Jerman  yang memusuhi yahudi, karena yahudi dianggap ras rendah yang senantiasa mengotori kemurnian ras arya.
Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan penyebab munculnya ideologi fasisme.  Salah satunya adalah pecahnya perang dunia kedua. Sejumlah Negara yang kalah perang di perang dunia pertama merasa frustasi dan tidak puas terhadap hasil perjanjian perang dunia pertama. Hal tersebut mengakibatkan kekacauan di bidang sosial dan ekonomi Negara tersebut. Sehingga lahir berbagai gesekan-gesekan di dalam Negara.  Depresi juga menjadi salah satu faktor pemicu kebangkitan Fasisme, sebelum perang dunia kedua. Hal itu yang menjadikan manusia dapat dimobilisir, karena tak memiliki acuan hidup. Faktor ketiga adalah lembaga-lembaga demokratis liberal yang tidak memiliki landasan yang aman, karena dapat disusupi berbagai ide-ide Fasisme. Serta kecemasan yang meluas diantara kelas menengah dan menengah-bawah atas pengambil alihan revolusioner rejim Komunis akan terjadi di Negara mereka menjadi faktor keempat bangkitnya ideologi Fasisme. Fasisme muncul dengan pengorganisasian pemerintahan dan masyarakat secara totaliter, kediktatoran partai tunggal yang bersifat: ultra-nasionalis, rasis, militeris dan imperialis. Fasisme juga muncul pada masyarakat pasca-demokrasi dan pasca-industri. Jadi, fasisme hanya muncul di negara yang memiliki pengalaman demokrasi. Hal- hal yang penting dalam penbentukan suatu karakter negara fasisme adalah militer, birokrasi, prestise individu sang diktator serta dukungan masa.
Tokoh-tokoh ideologi fasisme yang kita kenal adalah Benito Mussolini dari italia. Di Jerman terdapat tokoh penganut fasisme yaitu Adolf Hitler. Kedua tokoh ini mengenalkan ajaran-ajaran yang dianut dalam ideologi fasisime. Hingga saat ini ajaran fasisme model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasisme di dunia, karena wawasannya yang bersifat moderat.
Beberapa unsur pokok dari ajaran fasisme yaitu, Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatik adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan.  Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan.  Bagi ideologi fasisme manusia tidaklah sama. Sehingga  pertidaksamaan inilah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Dalam ideologi  fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen dan juga Islam  yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideologi yang mengedepankan kekuatan. Oleh karena itu, kita sering mendengar istilah anti-yahudi. Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya. Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam ideologi fasisme, pemerintahan harus dipimpin oleh kelompok-kelompok  elit yang dianggap lebih mengetahui keinginan seluruh anggota masyarakat. Kelima, totalitarianrisme. Bagi penganut ideologi fasime, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totalitarianisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan. Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme. Ketujuh, ideologi  fasisme memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasisme dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut. Oleh karena itu, kaum fasis menganggap bahwa perang sebagai derajat tertinggi terutama hal yang menentang hukum dan ketertiban internasional.


PENUTUP
Fasisme dikenal sebagai ideologi yang lahir dan berkembang subur pada abad ke-20. Ia menyebar dengan pesat di seluruh dunia pada permulaan Perang Dunia I, dengan berkuasanya rezim fasis di Jerman dan Italia pada khususnya, tetapi juga di negara-negara seperti Yunani, Spanyol, dan Jepang, di mana rakyat sangat menderita oleh cara-cara pemerintah yang penuh kekerasan. Berhadapan dengan tekanan dan kekerasan ini, mereka hanya dapat gemetar ketakutan. Diktator fasis dan pemerintahannya yang memimpin sistem semacam itu—di mana kekuatan yang brutal, agresi, pertumpahan darah, dan kekerasan menjadi hukum—mengirimkan gelombang teror ke seluruh rakyat melalui polisi rahasia dan milisi fasis mereka, yang melumpuhkan rakyat dengan rasa takut. Lebih jauh lagi, pemerintahan fasis diterapkan dalam hampir semua tingkatan kemasyarakatan, dari pendidikan hingga budaya, agama hingga seni, struktur pemerintah hingga sistem militer, dan dari organisasi politik hingga kehidupan pribadi rakyatnya. Pada akhirnya, Perang Dunia II, yang dimulai oleh kaum fasis, merupakan salah satu malapetaka terbesar dalam sejarah umat manusia, yang merenggut nyawa 55 juta orang.


DAFTAR PUSTAKA
Zulkifly Hamid, “Pengantar Ilmu Politik”. PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta: 2006
Surbakti, “Memahami Ilmu Politik”. PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta: 1992




Sabtu, 20 April 2013

HIKADU.....Oh, HIKADU....!!!!

Dimana lagi letak kebersamaan yang pernah kita ciptakan??
Dimana lagi letak sebuah rasa persaudaraan yang pernah melekat di hati kita??
Kemana hilangnya sebuah rasa solidaritas yang pernah kita hadirkan bersama??
Dan di sudut mana titik kejanggalan yang telah membuat kita seperti ini??
apakah mungkin semua visi dan misi yang kita bangun selama ini hanya isapan jempol dan harapan kosong belaka??

HIKADU...!!!
oh, HIKADU...!!!

Dimana Ruh mu???

Bagaikan sebuah jasad yang terbujur kaku.
Bagaikan sebuah bangunan yang tak berpenghuni.
Dan bagaikan setetes air yang membeku karena dinginnya suasana.

"Sebuah wilayah tidak akan pernah menjadi sebuah Negara tanpa ada rakyatnya".












Kamis, 29 November 2012

Artikel Sosiologi Hukum


 















Kelompok I
Artikel Sosioloogi Hukum
KORUPSI MENURUT KACAMATA SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Musa Amzhar Simbolon


Gerakan sosial adalah reaksi pada bagian dari individu atau kelompok untuk kondisi yang tidak memuaskan dalam kehidupan sosial. Adanya gesekan sosial dan mental yang berkembang sebagai upaya untuk mewujudkan hubungan yang harmonis. Didalam suatu pemerintahan mempunyai misi otoritas yang sangat kuat, yaitu dalam hal pemberantasan korupsi dimana secara konvensional berbasis sebagai penegakan hukum dan perbaikan pengawasan melalui institusi kenegaraan. Pada masalah inilah rakyat adalah sebagai korban dari penyalahgunaan kekuasaan yang harus mengambil inisiatif untuk mengembangkan pengawasan misal yang melibatkan peran serta masyarakat pada semua lapisan social dan profesi. Dimana telah terbangun suatu mitos didalam kehidsupan social masyarakat hukum bahwa korupsi hampir mustahil dapat dibasmi, dan ada anggapan bahwa korupsi sudah menjadi kebudayaan Bangsa Indonesia. Asumsi penulis adalah bahwa korupsi sesungguhnya menyangkut masalah kekuasaan dan kesempatan yang dipunyai oleh paraeksekutif dipemerintahan.
Secara sosiologis, perbuatan tindak pidana korupsi, tidak hanya merugikan keuangan atau perekonomian negara, tetapi juga merugikan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat diwadahi oleh UU Tipikor untuk melaporkan setiap penyalahgunaan jabatan, termasuk penyalahgunaan jabatan oleh penegak hukum yang ditugaskan memberantas tindak pidana korupsi. Artinya, setiap perbuatan tindak pidana acapkali menimbulkan korban di masyarakat juga. terutama tindak pidana korupsi.
Dengan demikian jelaslah bahwa tindak pidana korupsi dengan berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dan UU No. 7 Tahun 2006 tentang komisi perserikatan bangsa-bangsa anti korupsi, dimana akibat dari suatu perbuatan tindak  pidana korupsi yang menimbulkan gejala sosial didalam masyarakat hukum dan yang menjadi korban adalah masyakat atau rakyat.
1.      Alasan Orang Banyak Korupsi
Sikap mental dan budaya yang dianutnya memberikan dia alasan untuk melakukan korupsi. Karena adanya kesempatan dan adanya niat untuk melakukan tindak pidana Korupsi itu. Memberikan kesempatan untuk korupsi perlu dipersempit dengan memperbaiki sistem.
Sementara niat untuk melakukan korupsi lebih banyak dipengaruhi oleh sikap mental atau moral dari para pejabat atau pegawai. Banyak, di antara pejabat atau pegawai, mempunyai sikap yang keliru tetang sah tidak suatu penghasilan atau halal haramnya suatu sumber pendapatan. Mereka sering berpendapat, bahwa yang tidak sah atau haram hanyalah meliputi makanan dan minuman yang diharamkan agama. Sementara perbuatan lain yang merugikan orang lain atau merugikan keuangan negara, dianggap tidak haram atau sah-sah saja. Seharusnya perbuatan yang merugikan orang lain atau merugikan keuangan negara adalah juga perbuatan yang tidak sah atau haram, Karena sikap keliru inilah, banyak orang merasa tenang atau tidak merasa berdosa ketika melakukan korupsi.
Di sisi lain, bagi anggota masyarakat, ada semacam nilai bahwa memberikan sesuatu kepada pejabat bukanlah perbuatan yang dilarang, baik pemberian itu diberikan sebelum atau sesudah urusannya dengan pejabat itu selesai. Kebudayaan ini harus diubah. Perlu diingatkan, bahwa baik menurut hukum agama atau hukum nasional, orang yang menyuap atau disuap kedua-duanya juga salah.
Pemberantasan yang pilih- pilih dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dimana yang seharusnya pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan benar dan sudah tentu diperlukan aparatur pemerintahan, terutama penegak hukum, yang bersih. Menurut penilaian Transparansi Internasional, korupsi di Indonesia banyak terjadi di kalangan partai politik dan parlemen, dan di sektor penegakan hukum, baik kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Seperti kasus M. Nazaruddin, Nunun Nur Baety, Gayus Tambunan, Siruss Sinaga dan mungkin masih banyak lagi.
Oleh karena itu, pembersihan di sektor penegakan hukum haruslah menjadi prioritas utama. Di sini, harapan masyarakat banyak diberikan kepada KPK yang dianggap lebih memiliki integritas dibandingkan dengan penegak hukum lainnya. Untuk itu, KPK harus didukung sepenuhnya dan diberi kewenangan yanag lebih baik lagi, sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara optimal.
Peranserta masyarakat karena akan mempengaruhi keberhasilan pemberantasan korupsi banyak tergantung pada partisipasi masyarakat. Kalau masyarakat sudah mengubah budayanya dan bersikap “antikorupsi” maka situasi ini sudah cukup kondusif untuk memberantas korupsi. Dengan sikap demikian, diharapkan, masyarakat mau mencegah dan melaporkan korupsi yang terjadi.
2.      Penyebab Korupsi
Untuk menemukan penyebab korupsi, maka Penulis sedikit menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang because motive atau disebut sebagai motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat dinyatakan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya faktor penyebabnya. Maka seseorang melakukan korupsi juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor penyebab itulah yang disebut sebagai motif eksternal penyebab tindakan.
Di tengah kehidupan yang semakin sekular, maka ukurannya adalah seberapa besar seseorang bisa mengakses kekayaan. Semakin kaya, maka semakin berhasil. Maka ketika seseorang menempati suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka seseorang akan melakukannya secara maksimal. Di dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan kekayaan. Karena persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan seseorang, maka seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan bagaimana kekayaan tersebut diperoleh.
Dalam banyak hal, penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Jadi, jika menggunakan cara pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan.
3.      Kondisi Yang Mendukung Munculnya Korupsi
a.       Adapun kondisi yang mendukung terjadinya korupsi Menurut Penulis adalah:
·         Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
·         Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
·         Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
·         Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
·         Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
·         Lemahnya ketertiban hukum.
·         Lemahnya profesi hukum.
·         Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
·         Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
·         Wilayah Individu, dikenal sebagai aspek manusia yang menyangkut moralitas personal serta kondisi situasional seperti peluang terjadinya korupsi termasuk di dalamnya adalah faktor kemiskinan.
b.      Adapun dampak dari korupsi bagi bangsa Indonesia sangat besar dan komplek.
Menurut Soejono Karni, beberapa dampak korupsi adalah:
·         rusaknya sistem tatanan masyarakat,
·         ekonomi biaya tinggi dan sulit melakukan efisiensi,
·         munculnya berbagai masalah sosial di masyarakat,
·         penderitaan sebagian besar masyarakat di sektor ekonomi, administrasi, politik, maupun hukum,
·         yang pada akhirnya menimbulkan sikap frustasi, ketidakpercayaan, apatis terhadap pemerintah yang berdampak kontraproduktif terhadap pembangunan.
4.      Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
Masalah korupsi dan bagaimana cara mengatasinya sudah sangat banyak dibicarakan oleh para pengamat, penegak hukum, tokoh LSM, pejabat, pendidik dan juga pemimpin umat dari berbagai agama. Namun spirit reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 ditandai dengan runtuhnya rejim Orde Lama, yang salah satu agenda pokoknya adalah “pemberantasan KKN”, ternyata gaungnya mulai meredup. Ironis, karena sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa korupsi dapat dikurangi apalagi diberantas, Indonesia tetap bertengger sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Penanganan korupsi masih sangat mengecewakan dan dinilai masih dalam praktik "tebang pilih". Artinya, masih banyak kasus besar yang belum tersentuh pengadilan dan terkesan dilindungi oleh kekuasaan. Banyak putusan hakim yang kental isu suap. Banyak kasus yang ditangani, tapi ketika sampai di pengadilan banyak terdakwanya yang dibebaskan. Padahal menurut perasaan keadilan masyarakat atau pun berdasarkan fakta yang muncul di pengadilan, seharusnya hakim memutuskan sebagai terbukti bersalah.
Menghadapi beban penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi yang semakin canggih dan kompleks, lembaga kejaksaan sebagai ujung tombak penegak hukum, mutlak perlu membenahi diri ke dalam dan mereformasi diri. Salah satu agenda penting dalam reformasi lembaga kejaksaan adalah bagaimana lembaga ini dapat menjadi lembaga yang bebas dari intervensi politik. Politisasi hukum sudah berlangsung lama dan ini harus dijadikan agenda reformasi untuk menjadikan lembaga kejaksaan yang steril dari pengaruh politik dan kepentingan politik.
Masyarakat kebanyakan masih menganggap suap sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Contoh paling sederhana dari suap adalah memberi biaya perjalan dan menginap bagi anggota partainya dan sangat berkaitan dengan jabatan yang akan diraihnya, tapi memakai bahasa lain yang bukan terang- terangan mengatakan ini adalah suap hanya “membantu”. Sebenarnya membantu ini adalah hal yang lumrah tapi disalah gunakan demi kepentingan yang lain dan akhirnya justru disalahgunakan demi keuntungan pribadi dan saling menguntungkan antara pemberi dan penerima.
Aplikasi suap terjadi mulai dari hal yang sederhana dan sepele hingga urusan kenegaraan yang rumit. Suap terjadi mulai dari pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) hingga pembuatan undang-undang (UU) di lembaga legislatif. Dalam masyarakat yang kian materialistis, ada gium "tak ada yang gratis" menjadi acuan. Akibatnya, sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang, karena jabatannya menjadi "diperjual-belikan" demi keuntungan pribadi.
Kesadaran akan dampak dan kerugian suap juga bukan hal baru. Tapi akibat suap dan tindak koruptif lainnya, yang menyebabkan terbengkalainya kepentingan publik. Kesalahan yang terjadi sejak lama dan dibiarkan terjadi secara terus-menerus membuat suap menjadi tindakan yang seolah-olah dibenarkan. Bahkan, masyarakat menganggap suap sebagai hal yang "dibenarkan". Sudah menjadi rahasia umum bila masyarakat hingga kini masih beranggapan, untuk menjadi pegawai negeri sipil atau anggota TNI/ Polri selalu harus disertai dengan suap dengan nilai hingga puluhan juta rupiah. Dengan semakin sempitnya ketersediaan lapangan kerja, anggapan ini juga merambah ke sektor swasta dan menyentuh kelas masyarakat ekonomi paling bawah.
Kerangka kultural yang penuh pertimbangan ini membuat masyarakat selalu berusaha untuk menyiasati segala aturan yang ada. Masyarakat yang tidak mengerti juga membuat hukum yang dibuatnya pun tidak tegas. Aturan hukum terkadang keras, tetapi di bagian lain justru sangat lunak. Ketidakpastian hukum ini membuat hukum sangat mudah disiasati.
Kondisi ini membuat pemberantasan korupsi yang dilakukan sejak dulu hingga kini hanya drama penegakan hukum. Hampir semua pejabat publik dari pusat hingga daerah memainkan perannya dalam penegakan hukum. Namun, masyarakat sudah sangat cerdas menilai apa yang dilakukan oleh pemimpin mereka. Keterbukaan informasi membuat masyarakat mampu mencerna apa yang dilakukan pejabat dan membandingkan dengan kondisi sehari-hari. Hal-hal yang ditonton masyarakat dari pemimpin selanjutnya ditiru dalam skala yang lebih kecil. Tiadanya teladan juga membuat masyarakat tidak pernah optimistis terhadap upaya pemerintah menciptakan pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintah yang membuat aturan, namun pemerintah yang menyiasati dan melanggarnya.
Pemberantasan korupsi sejatinya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, korupsi yang telah membudaya, bahkan mungkin sudah mendarah daging. dan yang Kedua adalah penanganan korupsi ini yang tidak dilakukan secara sungguh-sungguh oleh penegak hukum itu sendiri.
Menurut penulis budaya korupsi bisa terjadi karena berbagai latar belakang. Di antara penyebabnya adalah: Pertama, kelemahan pemimpin untuk mencegah dan memberikan ketauladanan yang baik. Kedua, kelemahan pengajaran agama dan etika. Ketiga, budaya kolonialisme yang mendarah daging dan terpatri dalam benak dan perilaku masyarakat kita. Budaya kolonial yang cenderung mempraktikkan hegemoni dan dominasi, menjadikan orang Indonesia juga tega menindas bangsanya sendiri lewat perilaku korupsi. Keempat, tidak adanya penegakan hukum yang tegas dan memberatkan. Penegakan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak korupsi memang harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu. Kelima, struktur pemerintahan yang justru menumbuhkan lingkungan subur untuk korupsi.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian yang terjadi pada saat ini adalah:
1.      Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.
2.      Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada check and balance.
3.      Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki para koruptor pada sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
4.      Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
5.      Strategi koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan negara yang semakin canggih.
6.      Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diemban.
Oleh karena itu Penulis berpesan kepada kita semua untuk melakukan  upaya-upaya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab korupsi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya, dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menangkalnya, yakni :
1.      Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku.
2.      Mengoptimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga komponen-komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis dan sistematis.
3.      Mendayagunakan segenap infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki para koruptor dapat ditutup.
4.      Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas, sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
5.      Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
6.      Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan atau diselewengkan.
Bila kita melihat sedikit ke belakang mengenai kasus-kasus korupsi yang hingga sekarang tak pernah kunjung ada habisnya, maka bagaimana bila para koruptor dan terbukti bersalah segera dihukum mati?. Mungkin dengan sanksi seperti itu para generasi koruptor sedikit demi sedikit akan musnah dan juga masyarakat tidak lagi menjadi koban serta Negara tidak akan pernah rugi karena tidakan para koruptor.
Dengan demikian bahwa nilai kebahagiaan yang merupakan hal yang mendasar dari manusia itu sendiri merupakan motif di balik tindakan korupsi itu. Dengan kekuatan yang dimilikinya berupa semangat dalam menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran serta keberanian dalam menentang segala bentuk ketidak-adilan, masyarakat menempati posisi yang penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kekuatan tersebut bagaikan pisau yang bermata dua, di satu sisi, mahasiswa mampu mendorong dan menggerakkan masyarakat untuk bertindak atas ketidak-adilan sistem termasuk didalamnya tindakan penyelewengan jabatan dan korupsi. Sedangkan di sisi yang lain, mahasiswa merupakan faktor penekan bagi penegakan hukum bagi pelaku korupsi serta pengawal bagi terciptanya kebijakan publik yang berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.