Kelompok I
Artikel Sosioloogi Hukum
KORUPSI MENURUT KACAMATA SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Musa Amzhar Simbolon
Gerakan sosial adalah reaksi pada
bagian dari individu atau kelompok untuk kondisi yang tidak memuaskan dalam
kehidupan sosial. Adanya gesekan sosial dan mental yang berkembang sebagai upaya untuk mewujudkan
hubungan yang harmonis. Didalam suatu
pemerintahan mempunyai misi otoritas yang sangat kuat, yaitu dalam hal
pemberantasan korupsi dimana secara konvensional berbasis sebagai penegakan
hukum dan perbaikan pengawasan melalui institusi kenegaraan. Pada masalah
inilah rakyat adalah sebagai korban dari penyalahgunaan
kekuasaan yang harus mengambil inisiatif untuk mengembangkan pengawasan misal yang melibatkan
peran serta masyarakat pada semua lapisan social dan profesi. Dimana telah terbangun suatu mitos didalam
kehidsupan social masyarakat hukum bahwa korupsi hampir mustahil dapat dibasmi,
dan ada anggapan bahwa korupsi sudah menjadi kebudayaan Bangsa Indonesia.
Asumsi penulis adalah bahwa korupsi sesungguhnya menyangkut masalah kekuasaan dan
kesempatan yang dipunyai oleh paraeksekutif dipemerintahan.
Secara sosiologis, perbuatan tindak pidana korupsi, tidak hanya
merugikan keuangan atau perekonomian negara, tetapi
juga merugikan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat diwadahi oleh UU Tipikor
untuk melaporkan setiap penyalahgunaan jabatan, termasuk penyalahgunaan jabatan
oleh penegak hukum yang ditugaskan memberantas tindak pidana korupsi. Artinya,
setiap perbuatan tindak pidana acapkali menimbulkan korban di masyarakat juga.
terutama tindak pidana korupsi.
Dengan demikian
jelaslah bahwa tindak pidana korupsi
dengan berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, UU No. 13 tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban dan UU No. 7 Tahun 2006 tentang komisi
perserikatan bangsa-bangsa anti korupsi, dimana akibat dari suatu perbuatan
tindak pidana korupsi yang menimbulkan gejala sosial didalam
masyarakat hukum dan yang menjadi korban
adalah masyakat atau rakyat.
1.
Alasan Orang Banyak Korupsi
Sikap mental dan budaya yang
dianutnya memberikan dia alasan untuk melakukan korupsi. Karena adanya
kesempatan dan adanya niat untuk melakukan tindak pidana Korupsi itu. Memberikan kesempatan untuk korupsi perlu
dipersempit dengan memperbaiki sistem.
Sementara niat untuk melakukan
korupsi lebih banyak dipengaruhi oleh sikap mental atau moral dari para pejabat
atau pegawai. Banyak, di antara pejabat atau pegawai, mempunyai sikap yang keliru tetang sah tidak suatu
penghasilan atau halal haramnya suatu sumber pendapatan. Mereka sering
berpendapat, bahwa yang tidak sah atau haram hanyalah meliputi makanan dan
minuman yang diharamkan agama. Sementara perbuatan lain yang merugikan orang lain atau merugikan
keuangan negara, dianggap tidak haram atau sah-sah saja. Seharusnya perbuatan
yang merugikan orang lain atau merugikan keuangan negara adalah juga perbuatan
yang tidak sah atau haram, Karena sikap keliru inilah, banyak orang merasa
tenang atau tidak merasa berdosa ketika melakukan korupsi.
Di sisi lain, bagi anggota
masyarakat, ada semacam nilai bahwa memberikan sesuatu kepada pejabat bukanlah
perbuatan yang dilarang, baik pemberian itu diberikan sebelum atau sesudah
urusannya dengan pejabat itu selesai. Kebudayaan ini harus diubah. Perlu
diingatkan, bahwa baik menurut hukum agama atau hukum nasional, orang yang
menyuap atau disuap kedua-duanya juga salah.
Pemberantasan yang pilih- pilih
dalam melakukan pemberantasan korupsi. Dimana yang seharusnya pemberantasan
korupsi harus dilakukan dengan benar dan sudah tentu diperlukan aparatur
pemerintahan, terutama penegak hukum, yang bersih. Menurut penilaian
Transparansi Internasional, korupsi di Indonesia banyak terjadi di kalangan
partai politik dan parlemen, dan di sektor penegakan hukum, baik kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan. Seperti kasus M. Nazaruddin, Nunun Nur Baety, Gayus
Tambunan, Siruss Sinaga dan mungkin masih banyak lagi.
Oleh karena itu, pembersihan di
sektor penegakan hukum haruslah menjadi prioritas utama. Di sini, harapan
masyarakat banyak diberikan kepada KPK yang dianggap lebih memiliki integritas
dibandingkan dengan penegak hukum lainnya. Untuk itu, KPK harus didukung
sepenuhnya dan diberi kewenangan yanag lebih baik lagi, sehingga dapat
melaksanakan tugasnya secara optimal.
Peranserta masyarakat karena akan
mempengaruhi keberhasilan pemberantasan korupsi banyak tergantung pada partisipasi
masyarakat. Kalau masyarakat sudah mengubah budayanya dan bersikap
“antikorupsi” maka situasi ini sudah cukup kondusif untuk memberantas korupsi.
Dengan sikap demikian, diharapkan, masyarakat mau mencegah dan melaporkan
korupsi yang terjadi.
2.
Penyebab Korupsi
Untuk menemukan penyebab korupsi,
maka Penulis sedikit menggunakan konsepsi Alfred Schutz tentang because motive
atau disebut sebagai motif penyebab. Di dalam konsepsi ini, maka dapat
dinyatakan bahwa tindakan manusia ditentukan oleh ada atau tidaknya faktor
penyebabnya. Maka seseorang melakukan korupsi juga disebabkan oleh beberapa
faktor penyebab. Faktor penyebab itulah yang disebut sebagai motif eksternal
penyebab tindakan.
Di tengah kehidupan yang semakin
sekular, maka ukurannya adalah seberapa besar seseorang bisa mengakses
kekayaan. Semakin kaya, maka semakin berhasil. Maka ketika seseorang menempati
suatu ruang untuk bisa mengakses kekayaan, maka seseorang akan melakukannya
secara maksimal. Di dunia ini, maka banyak orang yang mudah tergoda dengan
kekayaan. Karena persepsi tentang kekayaan sebagai ukuran keberhasilan
seseorang, maka seseorang akan mengejar kekayaan itu tanpa memperhitungkan
bagaimana kekayaan tersebut diperoleh.
Dalam banyak hal, penyebab seseorang
melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan
yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu
ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara
berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Jadi, jika
menggunakan cara pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab
korupsi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan
yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan.
3.
Kondisi Yang Mendukung Munculnya Korupsi
a.
Adapun kondisi yang mendukung terjadinya korupsi Menurut
Penulis adalah:
·
Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak
bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim
yang bukan demokratik.
·
Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
·
Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran
lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
·
Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
·
Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan
jaringan "teman lama".
·
Lemahnya ketertiban hukum.
·
Lemahnya profesi hukum.
·
Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
·
Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
·
Wilayah Individu, dikenal sebagai aspek manusia yang
menyangkut moralitas personal serta kondisi situasional seperti peluang
terjadinya korupsi termasuk di dalamnya adalah faktor kemiskinan.
b.
Adapun dampak dari korupsi bagi bangsa Indonesia sangat
besar dan komplek.
Menurut Soejono Karni, beberapa dampak korupsi adalah:
Menurut Soejono Karni, beberapa dampak korupsi adalah:
·
rusaknya sistem tatanan masyarakat,
·
ekonomi biaya tinggi dan sulit melakukan efisiensi,
·
munculnya berbagai masalah sosial di masyarakat,
·
penderitaan sebagian besar masyarakat di sektor ekonomi,
administrasi, politik, maupun hukum,
·
yang pada akhirnya menimbulkan sikap frustasi,
ketidakpercayaan, apatis terhadap pemerintah yang berdampak kontraproduktif
terhadap pembangunan.
4.
Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
Masalah korupsi dan bagaimana cara
mengatasinya sudah sangat banyak dibicarakan oleh para pengamat, penegak hukum,
tokoh LSM, pejabat, pendidik dan juga pemimpin umat dari berbagai agama. Namun
spirit reformasi yang digulirkan pada tahun 1998 ditandai dengan runtuhnya
rejim Orde Lama, yang salah satu agenda pokoknya adalah “pemberantasan KKN”,
ternyata gaungnya mulai meredup. Ironis, karena sampai sekarang belum ada
tanda-tanda bahwa korupsi dapat dikurangi apalagi diberantas, Indonesia tetap
bertengger sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Penanganan korupsi
masih sangat mengecewakan dan dinilai masih dalam praktik "tebang
pilih". Artinya, masih banyak kasus besar yang belum tersentuh pengadilan
dan terkesan dilindungi oleh kekuasaan. Banyak putusan hakim yang kental isu
suap. Banyak kasus yang ditangani, tapi ketika sampai di pengadilan banyak
terdakwanya yang dibebaskan. Padahal menurut perasaan keadilan masyarakat atau
pun berdasarkan fakta yang muncul di pengadilan, seharusnya hakim memutuskan
sebagai terbukti bersalah.
Menghadapi beban penegakan hukum
terhadap kejahatan korupsi yang semakin canggih dan kompleks, lembaga kejaksaan
sebagai ujung tombak penegak hukum, mutlak perlu membenahi diri ke dalam dan
mereformasi diri. Salah satu agenda penting dalam reformasi lembaga kejaksaan
adalah bagaimana lembaga ini dapat menjadi lembaga yang bebas dari intervensi
politik. Politisasi hukum sudah berlangsung lama dan ini harus dijadikan agenda
reformasi untuk menjadikan lembaga kejaksaan yang steril dari pengaruh politik
dan kepentingan politik.
Masyarakat kebanyakan masih
menganggap suap sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Contoh
paling sederhana dari suap adalah memberi biaya perjalan dan menginap bagi
anggota partainya dan sangat berkaitan dengan jabatan yang akan diraihnya, tapi
memakai bahasa lain yang bukan terang- terangan mengatakan ini adalah suap
hanya “membantu”. Sebenarnya membantu ini adalah hal yang lumrah tapi disalah
gunakan demi kepentingan yang lain dan akhirnya justru disalahgunakan demi
keuntungan pribadi dan saling menguntungkan antara pemberi dan penerima.
Aplikasi suap terjadi mulai dari hal
yang sederhana dan sepele hingga urusan kenegaraan yang rumit. Suap terjadi
mulai dari pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) hingga pembuatan undang-undang
(UU) di lembaga legislatif. Dalam masyarakat yang kian materialistis, ada gium
"tak ada yang gratis" menjadi acuan. Akibatnya, sesuatu yang menjadi
kewajiban seseorang, karena jabatannya menjadi "diperjual-belikan"
demi keuntungan pribadi.
Kesadaran akan dampak dan kerugian
suap juga bukan hal baru. Tapi akibat suap dan tindak koruptif lainnya, yang
menyebabkan terbengkalainya kepentingan publik. Kesalahan yang terjadi sejak
lama dan dibiarkan terjadi secara terus-menerus membuat suap menjadi tindakan
yang seolah-olah dibenarkan. Bahkan, masyarakat menganggap suap sebagai hal
yang "dibenarkan". Sudah menjadi rahasia umum bila masyarakat hingga
kini masih beranggapan, untuk menjadi pegawai negeri sipil atau anggota TNI/
Polri selalu harus disertai dengan suap dengan nilai hingga puluhan juta
rupiah. Dengan semakin sempitnya ketersediaan lapangan kerja, anggapan ini juga
merambah ke sektor swasta dan menyentuh kelas masyarakat ekonomi paling bawah.
Kerangka kultural yang penuh
pertimbangan ini membuat masyarakat selalu berusaha untuk menyiasati segala
aturan yang ada. Masyarakat yang tidak mengerti juga membuat hukum yang
dibuatnya pun tidak tegas. Aturan hukum terkadang keras, tetapi di bagian lain
justru sangat lunak. Ketidakpastian hukum ini membuat hukum sangat mudah
disiasati.
Kondisi ini membuat pemberantasan
korupsi yang dilakukan sejak dulu hingga kini hanya drama penegakan hukum.
Hampir semua pejabat publik dari pusat hingga daerah memainkan perannya dalam
penegakan hukum. Namun, masyarakat sudah sangat cerdas menilai apa yang
dilakukan oleh pemimpin mereka. Keterbukaan informasi membuat masyarakat mampu
mencerna apa yang dilakukan pejabat dan membandingkan dengan kondisi
sehari-hari. Hal-hal yang ditonton masyarakat dari pemimpin selanjutnya ditiru
dalam skala yang lebih kecil. Tiadanya teladan juga membuat masyarakat tidak
pernah optimistis terhadap upaya pemerintah menciptakan pemerintahan yang baik
(good governance). Pemerintah yang membuat aturan, namun pemerintah yang
menyiasati dan melanggarnya.
Pemberantasan korupsi sejatinya disebabkan
oleh dua faktor. Pertama, korupsi yang telah membudaya, bahkan mungkin
sudah mendarah daging. dan yang Kedua adalah penanganan korupsi ini yang
tidak dilakukan secara sungguh-sungguh oleh penegak hukum itu sendiri.
Menurut penulis budaya korupsi bisa
terjadi karena berbagai latar belakang. Di antara penyebabnya adalah: Pertama,
kelemahan pemimpin untuk mencegah dan memberikan ketauladanan yang baik. Kedua,
kelemahan pengajaran agama dan etika. Ketiga, budaya kolonialisme
yang mendarah daging dan terpatri dalam benak dan perilaku masyarakat kita.
Budaya kolonial yang cenderung mempraktikkan hegemoni dan dominasi, menjadikan
orang Indonesia juga tega menindas bangsanya sendiri lewat perilaku korupsi. Keempat,
tidak adanya penegakan hukum yang tegas dan memberatkan. Penegakan hukum serta
pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak korupsi memang harus
dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu. Kelima, struktur
pemerintahan yang justru menumbuhkan lingkungan subur untuk korupsi.
Kendala-kendala yang dihadapi dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian yang terjadi pada saat ini adalah:
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian yang terjadi pada saat ini adalah:
1.
Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung
setengah-setengah.
2.
Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau
pengontrol, sehingga tidak ada check and balance.
3.
Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki para
koruptor pada sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
4.
Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara,
sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi begitu
gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
5.
Strategi koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa,
masyarakat, dan negara yang semakin canggih.
6.
Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri
dalam menjalankan amanah yang diemban.
Oleh karena itu Penulis berpesan
kepada kita semua untuk melakukan upaya-upaya
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan memperhatikan faktor-faktor
yang menjadi penyebab korupsi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam
pemberantasannya, dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan
untuk menangkalnya, yakni :
1.
Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku.
2.
Mengoptimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol, sehingga
komponen-komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara programatis
dan sistematis.
3.
Mendayagunakan segenap infrastruktur politik dan pada saat
yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki para
koruptor dapat ditutup.
4.
Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang jelas,
sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara para
penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
5.
Semua elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi,
wartawan) harus memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap
penyimpangan-penyimpangan secara objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang
ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
6.
Melakukan pembinaan mental dan moral manusia melalui
khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
Karena bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di
dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan,
niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan atau diselewengkan.
Bila kita melihat sedikit ke belakang
mengenai kasus-kasus korupsi yang hingga sekarang tak pernah kunjung ada
habisnya, maka bagaimana bila para koruptor dan terbukti bersalah segera
dihukum mati?. Mungkin dengan sanksi seperti itu para generasi koruptor sedikit
demi sedikit akan musnah dan juga masyarakat tidak lagi menjadi koban serta
Negara tidak akan pernah rugi karena tidakan para koruptor.
Dengan demikian bahwa nilai kebahagiaan
yang merupakan hal yang mendasar dari manusia itu sendiri merupakan motif di
balik tindakan korupsi itu. Dengan kekuatan yang dimilikinya berupa semangat
dalam menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran serta keberanian
dalam menentang segala bentuk ketidak-adilan, masyarakat menempati posisi yang
penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kekuatan tersebut bagaikan pisau
yang bermata dua, di satu sisi, mahasiswa mampu mendorong dan menggerakkan
masyarakat untuk bertindak atas ketidak-adilan sistem termasuk didalamnya
tindakan penyelewengan jabatan dan korupsi. Sedangkan di sisi yang lain,
mahasiswa merupakan faktor penekan bagi penegakan hukum bagi pelaku korupsi
serta pengawal bagi terciptanya kebijakan publik yang berpihak kepada
kepentingan masyarakat banyak.