Oleh: Musa Amzhar Simbolon
BAB I
PENDAHULUAN
Membahas mengenai konsep Judicial
Review di Indonesia bukanlah perkara yang mudah, mengingat konsep ini
baru mulai berkembang dalam praktiknya setelah terjadinya amandemen UUD 1945. Mulai
dari penggunaan istilahnya pun sudah mengundang berbagai perdebatan. Istilah ,
judicial review, constitutional review, constitutional adjudication, toetsingrecht seringkali menjadi tumpang-tindih
antara satu dengan lainnya.
Judicial review pada prinsipnya
merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang
ditetapkan oleh cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Pemberian kewenangan kepada hakim sebagai penerapan prinsip check and balances
berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara dan cita-cita negara hokum rechstaat
maupun rule of law. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim
tetapi lembaga parlemen maka disebut dengan istilah legislative review.
Pengujian oleh hakim terhadap
produk cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif merupakan konsekuensi
dianutnya prinsip check and balances dalam sistem pemisahan
kekuasaan (separation of power). Sedangkan dalam sistem pembagian
kekuasaan (distribution or division of power) yang tidak mengidealkancheck
and balances dimana kewenangan untuk melakukan pengujian semacam itu
berada di tangan lembaga yang membuat aturan itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dijelaskan
apa sebenarnya judicial review itu, arti penting judicial review, serta
tata cara pelaksanaannya. Sumber bahan makalah ini diambil dari berbagai buku
karangan para pakar hukum tata negara yang tidak diragukan lagi kemampuannya
serta dari artikel-artikel hasil seminar dari internet. Demikian semoga dapat
menjadi sumbangsih bagi keilmuan dalam civitas akademik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN JUDICIAL REVIEW
Terdapat
perbedaan dalam pendefinisian judicial review, diantaranya:
1. Menurut Miriam Budiardjo:
Mahkamah
Agung mempunyai wewenang untuk menguji apakah sesuatu undang–undang sesuai
dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, dan untuk menolak melaksanakan
undangundang serta peraturan peraturan lainnya yang dianggap bertentangan
dengan Undang- Undang Dasar. Ini dinamakan “Judicial Review”.
2. Sri Sumantri berpendapat:
Hak
menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai,
apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi
hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam
hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
3. Bintan R. Saragih menyebutkan:
Judicial
Review adalah hak dari Mahkamah Agung untuk menilai atau menguji secara material
apakah suatu undang-undang bertentangan dengan atau tidak berlaku undang-undang
yang dinyatakan bertentangan atau tidak sesuai tersebut.[1]
B. HAK UJI
MATERIIL
Menurut
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999 tentang hak Uji
materiil: Hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menguji secara
materiil terhadap peraturan perundangundangan, sehubungan dengan adanya gugatan
atau permohonan keberatan (pasal 1 ayat (1)).
Meskipun
belum ada definisi yang baku mengenai judicial review di Indonesia, tetapi pada
umumnya judicial review diberi pengertian sebagai “hak uji materiil”, yaitu
“wewenang untuk menyelidiki, menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan
isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya,
serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu.”[2]
C. URGENSI JUDICIAL REVIEW
Para
ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa urgensi judicial review adalah sebagai
alat kontrol terhadap konsistensi antara produk perundang-undangan dan
peraturan-peraturan dasarnya, untuk itu diperlukan judicial activision.
Menurut
Moh. Mahfud MD, minimal ada tiga alasan yang mendasari pernyataan pentingnya
judicial activision:
Pertama,
hukum sebagai produk politik senantiasa memiliki watak yang sangat ditentukan
oleh konstelasi politik yang melahirkannya. Hal ini memungkinkan bahwa setiap
produk hukum akan mencerminkan visi dan kekuatan politik pemegang kekuasaan
yang dominan sehingga tidak sesuai dengan hukum-hukum dasarnya atau bertentangan
dengan peraturan yang secara hirarkis lebih tinggi.
Kedua,
karena kemungkinan sering terjadi ketidaksesuaian antara suatu produk peraturan
perundangan dengan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi,
maka muncul berbagai alternatif untuk mengantisipasi dan mengatasi hal tersebut
melalui pembentukan dan pelembagaan Mahkamah konstitusi, Mahkamah
perudang-undangan, Judicial Review, uji material oleh MPR dan lain sebagainya.
Ketiga,
dari berabagai alternatif yang pernah ditawarkan, pelembagaan judicial review
adalah lebih konkret bahkan telah dikristalkan di dalam berbagai
peraturan perundang-undangan kendati cakupannya masih terbatas sehingga sering
disebut sebagai judicial review terbatas. Namun, tidak sedikit orang yang
mengira bahwa dari penerimaan terbatas terhadap judicial review akan
benar-benar dapat dilaksanakan dan telah mendapat akomodasi pengaturan yang
cukup. Padahal ketentuan tentang judicial review yang ada di berbagai peraturan
perundang-undangan itu memuat kekacauan teoritis yang sangat mendasar sehingga
tidak dapat dioperasionalkan. Oleh karena itu diperlukan perombakan total
terhadap peraturan mengenai judicial review, termasuk Perma No.1 Tahun 1993.
D. MEKANISME BERACARA DALAM JUDICIAL
REVIEW
1.
Prinsip-prinsip
Hukum Acara.
Proses
judicial review dalam perumusan hukum acaranya terikat oleh
asas-asas publik. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitu “contentious procesrecht”
atau hukum acara sengketa dan “non contentieus procesrecht” atau hukum
acara non-sengketa. Untuk judicial review, selain digunakan hukum
sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan hukum acara non sengketa yang
bersifat volunteer (atau tidak ada dua pihak
bersengketa/berbentuk permohonan).[3]
Bila
menelaah asas-asas hukum publik yang salah satunya tercermin pada asas hukum
acara peradilan administrasi, maka proses beracara judicial reviewseharusnya
juga terikat pada asas tersebut. Asas tersebut adalah:
a. Asas Praduga Rechtmatig
Putusan
pada perkara judicial review seharusnya merupakan putusan
akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat
putusan dibacakan dan tidak berlaku surut. Pernyataan tidak berlaku
surut mengandung makna bahwa sebelum putusan dibacakan,
obyek yang menjadi perkara – misalnya peraturan yang akan diajukan
judicial review harus selalu dianggap sah atau tidak
bertentangan sebelum putusan Hakim atau Hakim Konstitusi
menyatakan sebaliknya.
Konsekuensinya,
akibat putusan Hakim adalah “ex nunc” yaitu dianggap ada
sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan
suatu peraturan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh
lembaga berwenang (MA atau MK) ke depan. Namun perlu
juga dipikirkan tentang dampak yang sudah terjadi, terutama untuk kasus-kasus
pidana, misalnya dimungkinkan untuk mengajukan kembali perkara
yang bersangkutan tersebut untuk ditinjau kembali.
b. Putusan memiliki kekuatan
mengikat (erga omnes)
Kewibawaan
suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan
mengikatnya. Putusan suatu perkara judicial review haruslah
merupakan putusan yang mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun.
Dengan asas ini maka tercermin bahwa putusan memiliki kekuatan hukum mengikat
dan karena sifat hukumnya publik maka berlaku pada siapa saja–tidak hanya para
pihak yang berperkara.[4]
2.
Pengajuan
Permohonan atau Gugatan.
Dalam
PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengajuan judicial review dapat
dilakukan baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan dalam PERMA No. 2
Tahun 2002 untuk berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh
MA hingga terbentuknya MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara
apa harus dilakukan melalui gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan
melalui permohonan, atau dapat dilakukan melalui dua cara tersebut. Akibatnya
dalam prakteknya terjadi kebingungan mengingat tidak diatur pembedaan yang
cukup signifikan dalam dua terminologi ini.
PERMA
No. 1 tahun 1999 mengatur batas waktu 180 hari suatu putusan dapat
diajukan judicial review. Sedangkan dalam PERMA No. 2 tahun 2002,
jangka waktu untuk mengajukan judicial review hanyalah 90
hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan ini menimbulkan
permasalahan mengingat produk hukum yang potensial bermasalah adalah produk
hukum pada masa orde baru dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini
juga menafikan kesadaran hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.
3.
Alasan
Mengajukan Judicial Review.
Baik
dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang MK dan MA atas hak uji
materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum keberadaan MK melalui
PERMA No. 2 Tahun 2002, maupun dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tidak disebutkan
alasan yang jelas untuk dapat mengajukan permohonan/gugatan judicial
review. Dalam PERMA hanya disebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal
pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan
undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan Amandemen hanya menyebutkan
obyek judicial review saja dan siapa yang berwenang memutus.[5]
Namun
pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicial
review adalah sebagai berikut :
- Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi.
- Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
- Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
- Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
- Terdapat ambiguitas atau keraguraguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi.
4.
Pihak
yang Berhak Mengajukan Judicial Review.
Dalam
PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Penggugat atau
Pemohon adalah badan hukum, kelompok masyarakat. Namun tidak dijelaskan lebih
lanjut badan hukum atau kelompok masyarakat yang dimaksud dalam PERMA ini
seperti apa. Yang seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki legal
standing) dalam mengajukan permintaan pengujian UU adalah mereka yang
memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki kepentingan yang tidak
langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat semua orang.
Jadi
sebenarnya semua orang “harus” dianggap berkepentingan atau punya potensi
berkepentingan atau suatu UU. Namun bila semua orang punya hak yang sama, ada
potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya dapat merugikan hak orang lain. Namun
karena pengajuan perkara dapat dilakukan oleh individu maka sangat mungkin
dampaknya adalah pada menumpuknya jumlah perkara yang masuk.
Untuk
itu di masa mendatang idealnya dalam pengajuan perkara hak uji materil maka
perlu diperhatikan bahwa yang berhak mengajukan permohonan/gugat-an adalah
kelompok masyarakat yang :
- Berbentuk organisasi kemasyarakatan dan berbadan hukum tertentu.
- Dalam Anggaran Dasarnya menyebutkan bahwa pencapaian tujuan mereka terhalang oleh perundangundangan.
- Yang bersangkutan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.
- Dalam hal pribadi juga dapat memiliki legal standing, maka ia harus membuktikan bahwa dirinya memiliki concern yang tinggi terhadap suatu bidang tertentu yang terhalang oleh perundang-undangan yang bersangkutan.
5.
Putusan
dan Eksekusi Putusan.
Dalam
PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan
diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak
melaksanakan kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud
batal demi hukum. Putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan
yang sudah diambil mengikat.
Hal
ini dapat diartikan bahwa jika dinyatakan suatu UU – baik seluruh pasalnya
(berhubungan dengan keseluruhan jiwanya) atau pasal-pasal tertentunya saja
bertentangan dengan UUD, maka putusan tersebut wajib dicabut oleh DPR dan
Presiden dalam waktu tertentu. Jika tidak, maka UU tersebut otomatis batal demi
hukum.
Kurang
lebih ada dua alternatif yang dapat ditawarkan untuk perbaikan
di kemudian hari, yaitu : Alternatif pertama, segala peraturan atau
kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak konstitusional kehilangan
pengaruhnya sejak hari dimana putusan tersebut dibuat. Dengan catatan peraturan
atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hukum pidana kehilangan pengaruhnya
secara retroaktif. Dalam hal demikian maka dimungkinkan dibuka kembali
persidangan mengingat tuduhan didasarkan pada peraturan yang dianggap
inkonstitusional; Alternatif kedua, dapat diberikan kewenangan bagi
MA ataupun MK (nantinya) untuk memutus dampak atas masing-masing putusan apakah
berdampak pada peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan (ex nunc)atau
berdampak retroaktif (ex tunc).
Dalam
hal pencabutan putusan secara extunc, complaint individu
terhadap suatu peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga
omnes), karena landasan hukum suatu putusan pengadilan atau penetapan
administrative telah dinyatakan batal demi hukum atau dalam proses pembatalan.
Dengan demikian peraturan yang berlaku individu yang didasarkan pada landasan
hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.
Di
sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum
di sisi lain harus berjalan seimbang. Setidaknya putusan dalam perkara kriminal
harus dapat dibuka kembali oleh peradilan biasa dengan berdasarkan adanya
pembatalan dari norma hukum pidana yang menjadi dasar dari putusan tersebut.[6]
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat diambil
beberapa kesimpulan :
1. Judicial review adalah
wewenang untuk menyelidiki, menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan
isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya,
serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu.
2. Urgensi judicial review adalah
sebagai alat kontrol terhadap konsistensi antara produk
perundang-undangan dan peraturan-peraturan dasarnya.
3. Proses beracara judicial
review terikat pada asas praduga rechtmatig dan putusan memiliki
kekuatan mengikat.
4. Pengajuan judicial review dapat
dilakukan baik melalui gugatan maupun permohonan.
5. MA berwenang menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal
pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan
undang-undang yang lebih tinggi.
6. Pihak yang berhak mengajukan
judicial review adalah badan hukum, kelompok masyarakat.
B. SARAN
Adanya ketentuan-ketentuan yang
dapat dioperasionalkan tentang judicial review ini sangat diperlukan. Oleh
sebab itu yang diperlukan adalah adanya perombakan secara mendasar dan total
atas semua ketentuan mengenai judicial review yang ada hingga saat ini. upaya
iperombakan itu sebaiknya menampung pula pemikiran dilakukannya judicial review
terhadap Undang-undang agar dapat materinya selalu terkontrol dari
keinginan-keinginan politik yang tidak fair serta terkontrol konsistensinya
dengan UUD yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Fatimah, Siti. Praktik Judicial Review di Indonesia:
Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pilar Media. 2005.
Huda, Ni’matul. Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial
Review. Yogyakarta: UII Press. 2005.
Rositawati, Dian. dalam artikelnya yang berjudul “Mekanisme
Judicial Review”. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
2005.
Sabardiah, Maissy. dalam artikelnya yang berjudul “Legal
Standing Pemohon dalam Pengujian Undang-Undang (Judicial Review) Pada Mahkamah
Konstitusi”. Fakultas Hukum UI.
Pan Mohamad Faiz. Jurnal Hukum Online. Desember 2008.
[1] Mahfud, Moh. Politik
Hukum di Indonesia, edisi revisi,
cet. Ke 3 Jakarta: PT.Grafindo
Persada. 2009
[3] Fatimah, Siti. Praktik
Judicial Review di Indonesia: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pilar
Media. 2005.
[5] Ibid
[6] Sabardiah,
Maissy. dalam artikelnya yang berjudul “Legal Standing Pemohon dalam
Pengujian Undang-Undang (Judicial Review) Pada Mahkamah Konstitusi”.
Fakultas Hukum UI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar